Langkat– Formappel. com|| Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Sumatera Utara (KontraS Sumut) menyayangkan putusan Mahkamah Agung (MA) usai kabulkan kasasi Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkait vonis bebas mantan Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin (TRP) dalam kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara.
Selain itu tidak ada restitusi atau ganti rugi ke korban dalam putusan kasasi itu.
MA menyatakan Terbit terbukti bersalah melanggar Pasal 2 ayat (2) juncto Pasal 11 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Selain dijatuhi hukuman penjara, Terbit dihukum membayar denda Rp 200 juta.
Staff Advokasi KontraS Sumut, Ady Kemit kepada awak media Formappel. com melalui pres rilisnya,Kamis (5/12/24) mengungkapkan kekecewaan terhadap keputusan Hakim MA terhadap TRP. Hal tersebut dikarenakan putusan penjara yang dinilai terlalu rendah dan juga tidak dikenakan restitusi.
“Perihal putusan 4 tahun terhadap TRP juga masih menimbulkan pertanyaan besar dalam nurani hukum. Mengingat kerangkeng manusia milik TRP telah menyebabkan penderitaan luka
berat dan trauma bagi para korban, bahkan mengakibatkan korban meninggal,” kata Ady dalam keterangan tertulisnya kepada Formappel.com , Kamis (5/12/24)
Diketahui sebelumnya, JPU menuntut TRP dihukum 14 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Sehingga hukuman 4 tahun penjara rasanya kurang dapat memberikan rasa keadilan bagi para korban.
“Lagi lagi meskipun pidana kita berfokus kepada penghukuman pelaku, dalam kasus TRP kami menilai masih jauh dari kata adil. Ditambah pemulihan terhadap korban juga tak dapat diakomodir menambah catatan buruk pemulihan bagi para korban,” sambung Ady.
Ady juga kecewa terhadap putusan MA yang tidak menjatuhi restitusi atau ganti rugi kepada korban sesuai tuntutan JPU. Padahal JPU menuntut TRP membayar restitusi Rp 2.377.805.493 (Rp 2,3 miliar) kepada para korban atau ahli warisnya.
“Sangat disayangkan, dalam putusan MA tidak mengakomodir perihal restitusi terhadap korban. Lagi-lagi hukum kita hanya fokus pada penghukuman terhadap para pelaku, tapi mengenyampingkan kepentingan para korban,” tegas Ady.
Menurutnya kerugian materiil dan immateriil yang dialami para korban harusnya menjadi prioritas utama dalam suatu putusan hukum.
Selain itu Ady juga menaruh kecurigaan terhadap hakim yang memvonis bebas TRP pada pengadilan tingkat pertama yakni di Pengadilan Negeri Stabat.
“Kami menduga bahwa hakim tingkat pertama tidak memiliki prespektif korban dan lagi lagi tidak menjunjung tinggi prinsip HAM.
Kontras Sumut meminta kepada Komisi Yudisial untuk periksa para hakim Pengadilan Negeri Stabat yang memutus bebas TRP, “tutur Ady.
Ady menilai putusan tersebut telah menimbulkan kegundahan dan ketidakpercayaan publik pada institusi peradilan dan penegak hukum itu sendiri. Harusnya hakim memiliki keyakinan bahwa rasa sakit dan trauma yang dialami para korban TPPO kerangkeng Langkat milik TRP harus dilihat sebagai korban pelanggaran HAM atas relasi kekuasaan TRP. (Pers Rilis KontraS Sumut)