Kisah Nyata: Dua Ekor Anak Kucing yang Semakin Besar Bak Kambing Jantan
Langkat/FMP – Di era tahun lima puluhan, di sebuah kawasan yang kini dikenal sebagai Kelurahan Sei Bilah, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, tersimpan sebuah cerita unik yang masih diingat oleh beberapa warga tua di sekitar daerah tersebut.
Dahulu, tempat itu masih berupa hutan bakau yang rimbun dengan segelintir rumah penduduk.
Salah satu penghuninya adalah pasangan suami istri, Nenek Munah dan Ilyas, yang tinggal di sebuah rumah panggung sederhana.
Pasangan ini memelihara seekor kucing belang tiga, seperti kebanyakan orang pada zaman itu.
Sang kucing melahirkan dua ekor anak yang tampak biasa saja pada awalnya. Nenek Munah dengan penuh kasih merawat kedua anak kucing tersebut hingga tumbuh besar.
Namun, seiring berjalannya waktu, sesuatu yang tak lazim terjadi. Kedua anak kucing itu tumbuh dengan ukuran tubuh yang tak wajar, bahkan lebih besar dari induknya.
Perilaku mereka pun menjadi aneh. Kedua kucing itu sering bermain kejar-kejaran di dalam rumah, menyebabkan rumah panggung milik Nenek Munah bergetar seolah diguncang gempa.
Merasa terganggu dan mulai khawatir, Nenek Munah akhirnya menegur kedua kucing itu.
“Wahai kucing belang tiga, anakku. Pergilah ke dalam hutan. Jangan tinggal di rumahku lagi. Tapi jika kamu lapar, datanglah, dan aku akan memberikanmu makan,” ucapnya.
Anehnya, kedua kucing itu seperti mengerti ucapan sang nenek.
Mereka meninggalkan rumah dan pergi ke dalam hutan.
Namun, setiap malam Jumat, kucing-kucing itu kembali ke rumah, menunggu di bawah kolong rumah panggung
Sesuai janjinya, Nenek Munah selalu turun membawa sesaji berupa kue tujuh warna, bunga tujuh warna, dan wewangian kemenyan untuk memberi makan mereka.
Seiring waktu, daerah itu berubah.
Hutan bakau dibuka menjadi pemukiman, tambak, dan akhirnya menjadi lokasi perkuburan Muslim Sei Bilah. Nenek Munah pun telah tiada, meninggalkan cerita ini kepada anak cucunya.
Namun, kisah tentang kedua kucing besar itu tidak berakhir di sana.
Dikatakan, ketika salah satu keturunan Nenek Munah menghadapi kesulitan atau disakiti, salah satu anggota keluarga sering kerasukan.
Saat kerasukan, orang tersebut akan menunjukkan perilaku mirip kucing besar: memanjat dinding, mendesis seperti harimau, dan mengeluarkan suara garang.
Dalam kondisi ini, sosok yang dirasuki konon akan berkata, “Jangan sakiti anak cucuku. Jangan ganggu mereka.”
Untuk menghentikan kerasukan tersebut, keluarga harus membuat sesaji seperti yang dulu dilakukan oleh Nenek Munah: kue tujuh warna, bunga tujuh warna, dan kemenyan sebagai simbol perdamaian.
Cerita ini menjadi legenda yang hidup di kalangan masyarakat Sei Bilah, dikenang sebagai contoh dari “puaka” atau makhluk peliharaan yang diwariskan oleh generasi terdahulu.
Bagaimanapun, cerita ini mengingatkan kita akan hubungan unik antara manusia dan hewan yang terkadang melampaui nalar.
R/fmp