Penasihat Hukum Sesalkan Vonis 63 Bulan Mantan Guru Pelaku Kekerasan Seksual: “Ketika Derita Anak Tak Terbaca, Hukum Kehilangan Hatinya”
DELI SERDANG // FORMAPPEL.com –
Penasihat hukum korban, Andi Tarigan, S.H., menyampaikan kekecewaan mendalam atas putusan majelis hakim yang menjatuhkan vonis 63 bulan penjara kepada mantan guru SMP Negeri yang terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap muridnya. Menurutnya, putusan tersebut jauh dari rasa keadilan dan gagal mencerminkan prinsip perlindungan terbaik bagi anak sebagaimana diatur dalam hukum nasional maupun standar internasional.
“Ketika derita anak tak terbaca, hukum kehilangan hatinya,” tegas Andi dalam pernyataannya. Kamis 4/12/2025
Ia menilai baik jaksa maupun hakim telah gagal menangkap beratnya penderitaan korban. “Korban bukan angka, bukan berkas. Ia manusia kecil yang dihancurkan oleh orang yang dipercaya sebagai guru. Ketika pelaku hanya dihukum 63 bulan, negara terlihat tidak berdiri di sisi anak,” ujarnya.
Andi menekankan bahwa keadilan tidak boleh berhenti pada batas minimal hukuman semata. Putusan pengadilan, menurutnya, seharusnya menunjukkan seberapa serius negara melindungi kelompok paling rentan: anak-anak sebagai pemegang masa depan bangsa.
Dalam perkara ini, pelaku bukan hanya individu, tetapi seorang guru, pihak yang oleh Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) memikul tanggung jawab moral dan hukum yang lebih besar. Namun, ia menilai majelis hakim tidak mempertimbangkan aspek relasi kuasa tersebut sebagai faktor pemberat.
“Ketika guru menjadi pelaku, pengkhianatan moralnya jauh lebih besar. Penegak hukum seharusnya melihat itu sebagai alasan pemberatan, bukan justru menghasilkan putusan yang hanya memenuhi formalitas hukuman minimum,” kritiknya.
Andi mengingatkan bahwa Indonesia telah mengadopsi prinsip the best interest of the child melalui Konvensi Hak Anak (CRC) yang diratifikasi lewat Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, serta penguatan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 dan UU TPKS Nomor 12 Tahun 2022. Namun, prinsip itu dinilainya tidak tercermin dalam putusan pengadilan.
“Prinsip kepentingan terbaik anak tidak boleh berhenti di seminar dan spanduk. Prinsip itu harus hidup dalam setiap putusan. Dalam kasus ini, prinsip itu mati,” tegasnya.
Lebih jauh, pihak penasihat hukum korban menyatakan akan mempertimbangkan langkah lanjutan, termasuk melayangkan pengaduan ke Komisi Yudisial dan Komisi Kejaksaan RI, demi memastikan proses peradilan mencerminkan bobot kejahatan yang dilakukan.
“Trauma anak tidak punya tanggal kedaluwarsa. Tetapi hukuman yang dijatuhkan justru terasa seperti negara memberi maaf murah kepada pelaku,” tutup Andi. (W.Ardiansyah)



























